SUARANEWS86.COM || Pasaman Barat —
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kabupaten Pasaman Barat Sumbar kian hari makin brutal dan tak terkendali, akibatnya sungai sungai yang berada di Pasaman Barat hancur akibat tambang emas (PETI) ilegal. Tambang emas ilegal ini justeru meninggalkan kerusakan lingkungan yang masif, memicu konflik sosial, merusak infrastruktur, memporak porandakan DAS sungai dengan alat berat ada puluhan ekskavator yang menghancurkan DAS sungai dan bahkan mengancam keselamatan jiwa warga.
Investigasi di lapangan mengungkapkan sejumlah tambang PETI saat ini ada di enam kecamatan, titik-titik dari aktivitas Tambang Emas (PETI) ilegal di daerah Talamau, Gunung Tuleh, Sungai Aur, Koto Balingka, dan Ranah Batahan Kabupaten Pasaman Barat.
Pasaman Barat bertahun-tahun menjadi sarang mafia tambang ilegal. Aparat penegak hukum diam, pejabat tahu, tapi tidak bertindak. Malah ada yang ikut “bermain”. Dengan alat berat jenis ekskavator, para penambang dengan leluasa mengoyak aliran sungai menggunduli hutan lindung, mencemari sungai dan merusak alam.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sumatera Barat mengabaikan semua aturan hukum yang berlaku. Hutan yang dahulu rimbun kini berubah menjadi lahan tandus dan kolam-kolam raksasa yang menganga rusak parah di batang Tombang yang penuh lumpur beracun mercuri 30 Oktober 2025.
“Kami hidup dalam ketakutan. Setiap siang malam suara mesin ekskavator menderu mengoyak keheningan hutan. Setiap yang mau menambang PETI ada istilah sandi para mafia kalau masukkan satu ekskavator sama dengan satu payuang bayar Rp 60 juta per bulan kepada oknum aparat biar aman tidak ditangkap. Sungai tempat kami mandi dan mencari ikan kini berubah warna, bau, dan dipenuhi limbah berbahaya. Ada sekitar 11 titik PETI di Pasaman Barat ini,” ujar tokoh masyarakat.
Lebih parahnya, kata warga praktik tambang emas ilegal ini dibeking oleh oknum aparat, baik dari kalangan aparat maupun tokoh lokal.
“Ada kekuatan besar yang melindungi aktivitas ini. karena bertahun tahun aktifitas tambang illegal, dapat diduga ada orang besar dibalik penambangan ilegal di Pasaman Barat.Mereka bukan penambang kecil-kecilan. Ada uang miliaran yang bermain. Kami sudah lapor ke pihak berwenang, tapi tak ada tindak lanjut,” ungkap seorang aktivis lingkungan yang meminta identitasnya disembunyikan.
Dampak dari aktivitas ini bukan sekadar pada kerusakan alam. Pada tahun 2024, banjir bandang yang menghantam beberapa nagari di Pasaman Barat diduga kuat akibat deforestasi masif yang dipicu oleh penambangan liar dan pernah ada tragedi pada tanggal 14 Agustus 2025, empat orang para pekerja sedang menggali emas, tampa disangka derasan air sungai menghanyutkan penambang emas, tentu ini menjadi tindakan tegas pemerintah untuk stop tambang emas ilegal.
“Kalau pemerintah terus diam, Pasaman Barat bisa menjadi kuburan massal ekologi. Ini bukan hanya soal tambang, ini soal hak hidup manusia dan generasi mendatang,” kata masyarakat yang tidak bisa kami bilangkan namanya.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat Sumbar dinilai lamban dan terkesan menutup mata, bahwa masyarakat berbicara ke pihak LSM, Kapolres dapat setoran satu payung atau satu alat ekskavator senilai Rp 60 juta per bulan bahkan ada Rp 75 juta per bulan satu payung(perlindungan) per bulan. Perlindungan/payung/beking.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kepolisian Daerah Sumatera Barat didesak turun langsung untuk membongkar jaringan mafia tambang ilegal ini. Masyarakat sipil, aktivis, dan media mendesak penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh.
Setiap hari yang dibiarkan berlalu tanpa tindakan tegas adalah hari di mana hutan hancur, air tercemar, dan warga kian terpinggirkan oleh kerakusan segelintir orang. Sudah saatnya negara hadir bukan sebagai penonton, tapi sebagai pelindung rakyat dan penjaga alam. Jika aparat penegak hukum gagal bertindak, dan malah membeking maka bukan hanya Pasaman Barat yang rusak, tapi juga wajah keadilan negeri ini yang tercoreng.
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) kian menggila di sejumlah jorong di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Ironisnya, di tengah hancurnya lingkungan dan keresahan masyarakat, aparat kepolisian justru terkesan menutup mata, penegakan hukum seakan-akan berhenti total. Lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga hukum dan ketertiban kini dipertanyakan integritas dan keberpihakannya.
Beberapa titik yang menjadi lokasi tambang ilegal yang disebut-sebut marak antara lain berada di wilayah batang Tombang Desa Sinuruik wilayah hukum Polsek Talamau masyarakat menyebut, aktivitas tambang ini tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga memporak porandakan DAS aliran sungai, mencemari air bersih, serta berpotensi merusak ekosistem dan sumber penghidupan warga sekitar.
Mirisnya, meskipun aktivitas tambang ilegal ini terang-terangan berlangsung siang dan malam, aparat kepolisian mulai dari Polda Sumbar, Polres Pasaman Barat serta Polsek Talamau belum menunjukkan tindakan tegas yang sepadan. Sumber dari warga lokal menyebutkan bahwa para penambang bahkan merasa aman beroperasi karena “sudah biasa” dan “tidak pernah diganggu” aparat karena setoran bulanan lancar.
“Setiap hari alat berat mengeruk merusak DAS sungai. Sungai/batang air makin keruh. Ikan tak bisa ditangkap lagi. Kami hanya bisa mengeluh, karena polisi tidak peduli,” jelas warga marah.
Pertanyaan besar muncul di tengah publik, mengapa aparat kepolisian yang memiliki wewenang hukum justru diam membisu terhadap kegiatan yang secara jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kuat dugaan telah terjadi pembiaran sistematis, bahkan tidak sedikit yang mencurigai adanya praktik kongkalikong antara oknum aparat dan pelaku tambang ilegal. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa aktivitas PETI ini telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa adanya upaya pemberantasan yang nyata.
“Kalau aktivitas ilegal bisa jalan terus di depan mata aparat, logikanya cuma dua dibekingi atau dibiarin. Dua-duanya sama parahnya,” tegas Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat.
Selain kerusakan lingkungan, aktivitas PETI juga membawa dampak sosial yang serius. Anak-anak bermain di dekat limbah tambang, lahan pertanian tercemar, dan konflik sosial mulai muncul akibat perebutan lahan dan ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan. Di kawasan Tombang ini banyak pendatang atau pemukim baru jumlahnya sekitar 150 KK. Mereka membangun pondok pekerja, rumah hunian baru. Masuk kawasan ini dijaga ketat oleh penjaga tambang. Wartawan atau LSM masuk lokasi maka ponsel diamankan penjaga tambang disimpan atau dipegang oleh penjaga tambang. Wartawan atau LSM tak boleh memotret lokasi tambang.
Di Pasaman Barat bahkan menyebut penegakan hukum di wilayah ini telah “mati suri.” Mereka menuntut Mabes Polri untuk segera turun tangan, melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja Polda Sumatera Barat dan Polres Pasaman Barat, Polsek Talamau serta mengevaluasi aparat yang diduga melakukan pembiaran terhadap kejahatan lingkungan.
Desakan masyarakat pun menguat. Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis lingkungan secara terbuka menuntut pencopotan Kapolres Pasaman Barat jika tidak ada tindakan nyata terhadap aktivitas tambang ilegal tersebut.
“Kami sudah cukup bersabar. Jika aparat tidak bisa menegakkan hukum, maka mereka tidak layak duduk di kursi penegak hukum. Kami minta Kapolri segera copot Kapolres jika tidak mampu memberantas tambang ilegal ini,” tegas tokoh pemuda.
Tambang emas ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif ini adalah kejahatan lingkungan dan sosial yang harus ditindak dengan keras. Diamnya aparat bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi juga pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan amanah rakyat.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan Kapolri, juga bahkan Komisi III DPR RI menyoroti serius kasus ini. Hukum tidak boleh kalah oleh mafia PETI.
Sanksi Pidana
Tim Investigasi DPP TOPAN RI Wilayah Sumbagut, Rahman menegaskan ada sanksi pidana untuk penambang emas tanpa izin (PETI) karena dianggap melanggar hukum, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar berdasarkan Pasal 158 UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kegiatan ini dianggap ilegal karena sumber daya alam mineral adalah milik negara dan setiap kegiatan penambangan harus memiliki izin resmi dari pemerintah, seperti IUP, IUPK, atau IPR.
Sanksi pidana, Pidana penjara: Paling lama 5 tahun. Denda: Paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Dasar hukum Undang-Undang (UU) Nomor 3/2020: Mengubah UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Pasal 158 secara spesifik mengatur sanksi pidana bagi penambang tanpa izin. Pasal 35 UU Minerba: Menjelaskan ketentuan mengenai larangan melakukan penambangan tanpa izin yang menjadi dasar penerapan Pasal 158.
Konsep kepemilikan negara: Berdasarkan UU Minerba, semua sumber daya mineral, termasuk emas, ditetapkan sebagai kekayaan milik negara. Oleh karena itu, izin pemerintah mutlak diperlukan untuk semua kegiatan penambangan.
Pihak yang dapat dihukum, pelaku di lapangan: Orang yang secara langsung melakukan penambangan. Pemodal dan pendukung: Pihak yang memberikan modal, menyuruh, atau memberikan bantuan lain untuk kelancaran kegiatan PETI juga dapat dikenakan sanksi, bahkan dengan menerapkan pasal tambahan seperti Pasal 55 dan/atau 56 KUHP.
Tim investigasi konfirmasi kepada aph Kapolres Pasaman Barat terkait ada setoran payung atau pelindung Rp 60 juta, Kapolres Pasaman Barat mengatakan “kalau soal itu saya ngak tau dan gak urus tentang setoran tersebut” saya tidak mengetahui soal setoran payung itu dan pak liat siapa yang main dilokasi tersebut,” tutup Kapolres Pasaman Barat AKBP Agung Tribawanto, S.I.K. (tim)




















